Pendidikan Jarak Jauh



Pendidikan Jarak Jauh



            Globalisasi telah memacu kecenderungan pergeseran pendidikan dari pendidikan tatap muka yang konvensional ke arah pendidikan yang lebih terbuka sepeti yang dikatakan oleh Bishop G (dalam Isjoni & Ismail, 2008) bahwa pendidikan masa mendatang akan bersifat luwes (flexible), terbuka, dan dapat diakses oleh siapapun juga yang memerlukan tanpa pandang faktor jenis, usia maupun pengalaman sebelumnya.
Dengan demikian, sebagai dampak dari perkembangan ICT dibidang pendidikan salah satunya adalah munculnya suatu gagasan yaitu “Pendidikan Jarak Jauh” untuk memudahkan kita dalam belajar. Pendidikan jarak jauh itu sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang berupa suatu program pengajaran terorganisir, dimana antara pendidik dan peserta didik secara fisik berada pada lokasi yang berbeda. Hillary Perraton (1988), seperti dikutip oleh Schlosser dan Simonson (2006) mendefinisikan Pendidikan Jarak Jauh sebagai proses pengajaran dimana sebagian besar proporsi pembelajarannya dilakukan oleh seseorang (pengajar) yang terpisah dengan peserta belajar baik dari sisi jarak maupun waktu. Sedangkan menurut Desmond Keegan (1986) menyatakan bahwa “Pendidikan Jarak Jauh adalah suatu metode pendidikan dimana antara peserta belajar dengan pengajarnya terpisah secara fisik.” Dengan demikian, maka inti dari pembelajaran jarak jauh adalah ketika proses pembelajaran tidak terjadinya kontak dalam bentuk tatap muka secara langsung antara pengajar dan pembelajar. Komunikasi berlangsung dua arah yang dijembatani dengan media seperti komputer, televisi, radio, telepon, internet, video dan sebagainya.  
            Pendidikan jarak jauh mencakup upaya yang ditempuh pembelajar untuk mewujudkan sistem pendidikan sepanjang hayat, dengan prinsip-prinsip kebebasan, kemandirian, keluwesan, keterkinian, kesesuaian, mobilitas, dan efisiensi. Pada prinsipnya pendidikan jarak jauh dapat berlangsung dengan baik apabila komponen-komponen didalamnya saling berkesinambungan. Adapun komponen-komponen pendidikan jarak jauh diantaranya yaitu: (1) Orang yang mengajar, yaitu guru, tutor, dll; (2) Orang-Orang yang belajar, yaitu satu atau lebih peserta belajar (siswa, mahasiswa, dll); (3) Apa yang dipelajari, yaitu kurikulum, silabus, dan mata ajar (mata kuliah, mata pelajaran, dll) ; (4) Siapa yang menyelenggarakan, yaitu adanya lembaga yang mengelola Pendidikan Jarak Jauh (merencanakan, melaksanakan, memonitor, mengevaluasi dll); (5) Adanya kesepakatan kegiatan belajar, yaitu kontrak belajar yang menjelaskan apa yang harus dilakukan atau peran dan tanggung jawab, baik antara peserta belajar dengan pengajar, peserta belajar dengan lembaga penyelenggara, maupun pengajar dengan penyelenggara.
            Sementara itu, Desmond Keegan (1986) memaparkan lima karakteristik pendidikan jarak jauh, yaitu: (1) Terpisahnya peserta belajar dengan pengajar selama proses pembelajaran; (2) Dipengaruhi oleh organisasi atau lembaga penyelenggara, baik dalam perencanaan dan persiapan bahan belajar maupun pemberian dukungan belajar bagi peserta belajar yang membedakannya dengan program pembelajaran privat; (3) Digunakannya aneka ragam media, baik cetak, audio, video maupun komputer, baik untuk menyatukan peserta belajar dan pengajar maupun penyampaian materi pembelajaran; (4) Digunakannya komunikasi dua arah sehingga terjadi interaksi dan dialog yang intensif; (5) Ketidakhadiran peserta belajar dan pengajar secara bersama-sama pada waktu dan tempat yang sama selama proses pembelajaran mengkondisikan terjadinya pembelajaran secara mandiri walaupun tidak menutup kemungkinan adanya pertemuan pada waktu-waktu tertentu, baik untuk tujuan pembelajaran maupun sosialisasi atau orientasi.
            Dalam konteks pendidikan jarak jauh e-learning merupakan suatu keharusan, karena e-learning adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk proses pembelajaran. Dengan demikian sebagai konsekuensi dari keterpisahan jarak dan waktu untuk menghubungkan antara peserta belajar, sumber belajar dan pengajar, pendidikan jarak jauh harus mengunakan teknologi telekomunikasi. Sedangkan e-learning itu sendiri didefinisikan sebagai proses pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memediasi aktifitas pembelajaran baik secara sinkronous maupun asinkronous. Jadi, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan antara keduanya mengacu pada konsep yang sama dan saling berkaitan.
            Pada dasarnya pendidikan jarak jauh memiliki dua tipe yaitu synchrounous dan asynchronous. Synchronous berarti “pada waktu yang sama”. Jadi, proses pembelajaran terjadi pada saat yang sama ketika pengajar sedang mengajar dan murid sedang belajar. Hal tersebut memungkinkan interaksi langsung antara guru dan murid, baik melalui internet maupun intranet. Sedangkan Asynchronous berarti “tidak pada waktu yang bersamaan.” Jadi proses pembelajaran tidak terjadi pada saat yang bersamaan. Pengajar memberikan materi pelajaran lewat internet dan murid mengakses materi pada waktu yang berlainan (Zhuang & Effendi, 2005).
            Adapun kelebihan dari pendidikan jarak jauh adalah sebagai berikut: (1) Mampu mengurangi biaya pendidikan; (2) Fleksibilitas waktu; (3) Fleksibilitas tempat; (4) Fleksibilitas kecepatan pembelajaran; (5) Standarisasi pengajaran; (6) Efektivitas pengajaran; (7) Kecepatan distribusi; (8) Ketersediaan On-Demand; (9) Otomatisasi proses administrasi. Sedangkan kekurangan pendidikan jarak jauh diantaranya adalah: (1) Keterbatasan budaya; (2) Keterbatasan investasi; (3) Keterbatasan teknologi; (4) Keterbatasan Infrastruktur, (5) Keterbatasan materi; (6) Keterbatasan SDM; (7) Adanya tindak kejahatan atau penyalahgunaan; (8) Etika dan moralitas masih belum mendapat tempat yang tepat (Zhuang & Effendi, 2005).
            Strategi e-learning dalam buku yang ditulis oleh Zhuang & Effendi (2005) melibatkan empat tahap yaitu: (1) Analisa; (2) Perencanaan; (3) Pelaksanaan; (4) Evaluasi. Pada umumnya proses pendidikan dimulai dari pengenalan lembaga penyelenggara pendidikan, proses registrasi untuk mendaftarkan diri, proses belajar mengajar, kelulusan dan kontak alumni. Proses tersebut harus dikelola dengan baik, apalagi untuk proses pendidikan jarak jauh berbasis internet. Pengelolaan tersebut meliputi administratif, proses belajar mengajar, pembentuk atmosfer ilmiah hingga masalah keuangan (Oetomo, 2002).  


Referensi:

Isjoni & Ismail, A. (2008). Pembelajaran Virtual: Perpaduan Indonesia Malaysia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Oetomo, B. S. (2002). e-Education: Konsep, Teknologi, dan Aplikasi Internet Pendidikan . Yogyakarta: C.V. ANDI OFFSET.

Tahar, I. & Enceng. (2006). Hubungan Kemandirian Belajar dan Hasil Belajar pada Pendidikan Jarak Jauh. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh Vol.7, No.2, pp 91-101
Zhuang, H. & Effendi, E. (2005). e-learning: Konsep & Aplikasi. Yogyakarta: C.V. ANDI OFFSET.

Share this:

JOIN CONVERSATION

4 comments:

  1. Mau nanya nih kak, sebenernya seberapa efektif sih penerapan pendidikan jarak jauh itu? Terus apa yang menjadi tolok ukur keberhasihan sebuah pendidikan jarak jauh?
    Thx

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo kita bahas mengenai efektif atau tidaknya itu menurut saya sifatnya relatif, jadi tergantung dimana kita menerapkan pendidikan jarak jauh itu, kalo misal kita menerapkannya di lingkungan terpencil dan belum adanya sarana prasarana yang memadai pasti itu sangat tidak efektif. Terus kalo untuk tolok ukur keberhasilah sebuah pendidikan jarak jauh itu bisa kita lihat dari seberapa besar tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah dipelajari selama proses pembelajaran, itu bisa diketahui melalui evaluasi pembelajaran. Kurang lebih seperti itu. Terimakasih :)

      Delete