Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Pengantar Filsafat Pendidikan
Pragmatisme
A.
Pengertian
Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.2 Aliran ini bersedia menerima segala sesutau, asal saja hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.2 Aliran ini bersedia menerima segala sesutau, asal saja hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.
Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak segala intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal..
B.
Hakikat
Realitas Menurut Filsafat Pragmatisme
Hakikat
Realitas. Pragmatisme dikenal pula dengan sebutan Eksperimentalisme dan Instrumentalisme.
Menurut penganut aliran ini, hakikat realitas adalah segala sesuatu yang
dialami manusia (pengalaman); bersifat plural (pluralistic); dan
terus-menerus berubah. Mereka beragumentasi bahwa realita adalah sebagaimana
dialami melalui pengalaman setiap individu (Callahn and Clark, 1983). Hal ini
sebagaimana dikemukakan William James : “Dunia nyata adalah dunia pengalaman
manusia” (S.E. Frost Jr., 1957). Sifat plural realitas antara lain tersurat
dalam pernyataan John Dewey: “Dunia yang ada sekarang ini adalah dunia pria dan
wanita, sawah-sawah, pabrik-pabrik, tumbuhan-tumbuhan dan binatang-binatang,
kota yang hiruk pikuk, bangsa-bangsa yang sedang berjuang, dsb. .... adalah
dunia pengalaman kita” (H.H. Titus et all, 1959). Mengingat realitas ini terus
berubah, maka realitas tak pernah lengkap atau tak pernah selesai. Sebab itu
tujuan akhir relitas pun berada bersama perubahan tersebut. Jadi menurut
Pragmatisme, hanya realitas fisik yang ada, teori umum tentang realitas tidak
mungkin dan tidak diperlukan (Edward J. Power , 1982).
Realitas dan
dunia yang kita amati, tidak bebas dari ide Manusia dan sekaligus juga tidak
terikat kepadanya. Realitas merupakan interaksi antara manusia dengan
lingkungannya. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung
jawab yang sama terhadap realitas. Dunia akan bermakna sejauh manusia
mempelajari makna yang terkandung didalamnya. Perubahan merupakan esensi
realitas, dan manusia harus siap mengubah cara-cara yang akan dikejakannya.
Manusia pada hakikatnya plastis dan dapat berubah.
Teori
Pragmatisme tentang perubahan yang ters-menerus, didasari pandangan Heraclaitos
(540-480 SM), seorang filosof Yunani, dengan Toeri “panta rei” artinya
mengalir secara terus-menerus. Heraclaitos berpendapat bahwa tidak ada sungai
yang dialiri oleh air yang sama. Bagi Pragmatisme tidak dikenal istilah
metafisika, karena mereka tidak pernah memikirkan dibalik realitas yang dialami
dan diamati oleh panca indera manusia. Realitas adalah apa yang dapat dialami
dan diamati secara indrawi.
Manusia
dipandang sebagai makhluk fisik sebaga hasil evolusi biologis, sosial, dan
psikologis, karena manusia dalam keadaan terus-menerus berkembang. Manusia
hidup dalam keadaan “menjadi” (becoming) secara terus-menerus (on
goingness). Manusia secara mendasar adalah plastis dan dapat berubah. Anak
merupakan organisme yang aktif, secara terus-menerus merekonstruksi dan
menginterpretasi serta mereorganisasi kembali pengalaman-pengalamannya. Anak
akan tumbuh apabila berhubungan dengan yang lainnya. Anak harus mempelajari
hidup dalam komunitas individu-individu, bekerja sama dengan mereka, dan
menyesuaikan dirinya secara cerdas terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Tema pokok filsafat pragmatisme
adalah:
a) Esensi
realitas adalah perubahan;
b) Hakikat
sosial dan biologis manusia yang esensial;
c) Relativitas
nilai;
d) Penggunaan
intelegensi secara kritis.
Watak pragmatisme
adalah humanitis dan menyetujui suatu dalil bahwa manusia adalah ukuran
segala-galanya (man is the measure of all things). Tujuan dan alat
pendidikan harus fleksibel dan terbuka untuk perbaikan secara terus-menerus.
Tujuan dan cara utuk mencapai tujuan pendidikan harus rasional dan ilmiah.
C. Hakikat
Pengetahuan Menurut Filsafat Pragmatisme
Para filsuf
Pragmatisme menolak dualisme antara subjek (manusia yang mempersepsi dengan
objek yang dipersepsi). Manusia adalah kedua-duanya dalam dunia yang
dipersepsinya dan dari dunia yang ia persepsi. Segala sesuatu dapat diketahui
melalui pengalaman, adapun cara-cara memperoleh pengetahuan yang diandalkan
adalah metode ilmiah atau metode sains sebagaimana disarankan oleh John Dewey.
Pengalaman tentang fenomena menentukan pengetahuan. Karena fenomena
terus-menerus berubah, maka pengetahuan dan kebenaran tentang fenomena itu pun
mungkin berubah. Bagaimanapun, kebenaran pada hari ini harus juga
dipertimbangkan mungkin berubah esok hari (Callahan and Clark, 1983).
Menurut
filsuf pragmatisme, suatu pengetahuan hendaknya dapat diverifikasi dan
diaplikasikan dalam kehidupan. Adapun kriteria kebenarannya adalah workability,
satisfaction and result. Pengetahuan dinyatakan benar apabila
dapat dipraktekkan, memberikan hasil dan memuaskan. Berdasarkan uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa pengetahuan bersifat relatif; pengetahuan dikatakan
bermakna apabila dapat diaplikasikan. Sebab itu pragmatisme dikenal pula
sebagai Instrumentalisme (Edward J. Power, 1982).
Pragmatisme
yakin bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak
begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan secara empiris.
Pikiran (rasio) tidak bertentangan dan tidak terpisah dari dunia, melainkan
merupakan bagian dari dunia. Pengetahuan sebagai transaksi antara manusia dan
lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian dari pengetahuan. Pengalaman
manusia berubah, maka akal tidak memerlukan pengetahuan yang tetap dan abadi.
Apa yang dikatakan nyata adalah apa yang dapat dialami dengan pengalaman. Inti
dari pengalaman adalah berupa masalah-masalah yang dialami individu atau
sekelompok individu. Manusia dalam kehidupannya, baik individual maupun sosial,
memerlukan alat untuk memecahkan masalah tersebut adalah pengetahuan-pengetahuan
tentatif atau hipotesis-hipotesis. Karena itulah prgamatisme Dewey disebut
instrumentalisme.
Pragmatisme
mengajarkan bahwa tujuan semua berfikir adalah kemajuan hidup. Di balik semua
gambaran berfikir terdapat tujuan tertentu untuk memajukan dan memperkaya
kehidupan walaupun kita tidak menyadarinya. Semua kebenaran mengandung watak
pragmatis. Dalam arti dapat mengabdi dalam tujuan-tujuan tertentu dari alam dan
dari pengalaman manusia, dan akan bernilai apabila dihubungkan dengan
tujuan-tujuan tertentu dari alam dan pengalaman manusia, dan akan bernilai
apabila dihubungkan dengan tujuan-tujuan tersebut. Jadi nilai pengetahuan
manusia harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis. Menurut James, tidak
ada ukuran untuk menilai kebenaran absolut. Benar atau palsunya pikiran akan
terbukti di dalam penggunaannya dalam praktik dan tergantung dari berhasil atau
tidaknya tindakan tersebut.
Pengetahuan
yang benar adalah pengetahuan yang berguna. Menurut James, suatu ide itu benar
apabila memiliki konsekuensi yng menyenangkan. Menurut Dewey dan Pierce, suatu
ide itu benar apabila berakibat memberi kepuasan jika diuji secara objektif dan
ilmiah. Secara khusus pragmatisme mengemukakan bahwa ide yang benar tergantung
kepada konsekuensi-konsekuensi yang diobservasi secara objektif, dan ide
tersebut secara operasional.
Teori
kebenaran merupakan alat yang kita pergunakan untuk memecahkan masalah dalam
pengalaman kita. Oleh karena itu, suatu teori harus dinilai dalam pengertian
mengenai keberhasilan menjalankan fungsinya. Jadi, menurut pragmatisme, suatu
teori itu benar apabila berfungsi. Kebenaran bukan sesuatu yang statis,
melainkan tumbuh berkembang dari waktu ke waktu. Menurut James (Harun
Hadiwijono, 1980), tidak ada kebenaran mutlak berlaku umum, bersifat tetap,
berdiri sendiri, lepas dari akal pikiran yang mengetahui. Pengalaman kita
berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam pengalaman senantiasa
berubah, karena dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi
oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran yang mutlak,
yang ada hanya kebenaran-kebenaran, yaitu kebenaran yang ada dalam pengalaman
yang khusus yang setiap saat dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Pragmatisme
juga berpandangan bahwa metode intelijen merupakan cara ideal untuk memperoleh
pengetahuan. Kita mengerti segala sesuatu dengan penempatan dan pemecahan
masalah. Intelegensi mengajukan hipotesis untuk memecahkannya. Hipotesis yang
mampu memecahkan masalah secara gemilang adalah hipotesis yang menjelaskan
fakta-fakta dari masalah tersebut.
Untuk dapat
memecahkan masalah-masalah sosial dan perorangan yang paling penting,
diharapkan menerapkan logika sains pada pengalaman yang problematis. Menrut
John Dewey, yang dikemukakan oleh Wayne Rasyidin (1992;114), dalam menerapkan
konsep pragmatisme secara eksperimental dalam memecahkan masalah hendaknya
melalui lima tahapan, yaitu;
Langkah ke-1
: Inderteminate Solution, timbulnya situasi ketegangan di dalam
pengalaman yang perlu dijabarkan secara spesifik.
Langkah ke-2
: Diagnosis, artinya timbul upaya mempertajam masalah sampai pada menentukan
faktor-faktor yang diduga menyebabkan timbulnya masalah.
Langkah ke-3
: Hipotesis, artinya ada upaya menemukan gagasan yang diperkirakan dapat
mengatasi masalah, dengan jalan mengarahkan pengumpulan informasi yang
penting-penting.
Langkah ke-4
: Hipotesis testing, yaitu pelaksanaan berbagai hipotesis yang paling
relevan secara teoritis untuk membandingkan implikasi masing-masing kalau
dipraktikan.
Langkah ke-5
: Evaluation, artinya mempertimbangkan hasilnya setelah hipotesis
terbaik dilaksanakan, yaitu dalam kaitan dengan masalah yang dirumuskan pada
langkah ke-2 dan ke-3.
Berdasarkan
langkah-langkah di atas, Dewey berusaha menyusun suatu teori yang logis dan
tepat berdasarkan konsep-konsep pertimbangan-pertimbangan,
penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang beraneka ragam, dalam arti
alternatif-alternatif. Menurut Dewey, yang benar adalah apa yang pada akhirnya
disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya.
Selanjutnya
pada bagian lain Dewey mengatakan bahwa pengalaman merupakan satu interaksi
antara lingkungan dengan organisme biologis. Pengalaman manusia membentuk
aktifitas untuk memperoleh pengetahuan. Kegiatan berfikir timbul disebabkan
karena adanya gangguan terhadap situasi (pengalaman) yang menimbulkan masalah
bagi manusia (langkah kesatu dan kedua). Untuk memecahkan masalah tersebut
disusun hipotesis sebagai bimbingan bagi tindakan berikutnya (langkah ketiga).
Dewey menegaskan, bahwa berpikir, khususnya berpikir ilmiah merupakan alat
untuk memecahkan masalah. Itulah yang disebut metode Intelejen atau metode
ilmiah.
John Dewey
dengan pandangannya yang disebut Instrumentalisme barangkali merupakan pemikir
yang sangat berpengaruh pada zamannya sehingga ia dapat memeberikan corak
kebudayaan Amerika sampai sekarang dengan pandangan hidup pragmatis dan sistem
demokrasinya. Ia mengembangkan sebuah teori pengetahuan dari sudut peranan
biologis dan psikologis. Konsep-konsepnya merupakan bimbingan untuk mengarahkan
kegiatan intelektual manusia ke arah masalah sosial yang timbul pada waktu itu.
Menurut Dewey, filsafat dalam memberikan pengarahan-pengarahan bagi perbuatan
dalam kenyataan hidup oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam
pemikiran-pemikiran metafisik yang tidak ada faedahnya. Filsafat harus berpijak
pada pengalaman, dan meneliti serta mengolah pengalaman tersebut secara
kritikal. Penelitian berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang
dilakukan dengan sengaja. Oleh karena itu, penelitian dengan penilaiannya
merupakan alat untuk memperoleh pengetahuan empiris.
Implikasi
teori epistemologi terhadap pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar
di sekolah, guru harus menyusun situasi belajar di sekitar masalah khusus, yang
pemecahannya diserahkan kepada siswa. Pemuda merupakan pelajar alami, karan
secara alamiah mereka ingin tahu, ingin mengadakan eksplorasi terhadap
lingkungan dimana ia tinggal. Anak akan lebih banyak belajar dari apa yang
mendorong dia untuk meneliti dan menarik perhatiannya. Guru harus memelihara
keinginan atau dorongan anak untuk meneliti. Guru harus memberikan kesempatan
kepada siswa untuk (1) belajar apa yang ia ingin ketahui, (2) selalu ingin
mengetahui yang berkaitan dengan pelajaran, seperti sains, bahasa, sejarah dan
lain-lainnya.
D. Hakikat
Nilai Menurut Filsafat Pragmatisme
Pragmatisme
mengemukakan pandangannya tentang nilai, bahwa nilai itu relatif. Kaidah-kaidah
moral dan etik tidak tetap, melainkan selalu berubah, seperti perubahan kebudayaan
masyarakat, dan lingkungannya. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas
nilai dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran pengetahuan dengan
metode empiris. Nilai maupun etis akan dilihat dari perbuatannya, bukan dari
segi teorinya. Jadi, pendekatan terhadap nilai adalah cara empiris berdasarkan
pengalaman-pengalaman manusia, khususnya kehidupan sehari-hari. Pragmatisme
tidak menaruh perhatian terhadap nila-nilai yang tidak empiris, seperti nilai
supernatural, nilai universal, bahkan termasuk nilai-nilai agama.
Menurut
pragmatisme, kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan tidak memihak
dan secara ilmiah memiliki nilai-nilai yag tampaknya memungkinkan untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia. Nilai-nilai itu tidak akan
dipaksakan dengan kekuatan apapun kepada kita untuk diterimanya. Nilai-nilai
itu akan disetujui setelah diadakan diskusi secara terbuka yang didasarkan atas
bukti-bukti empiris dan objektif. Nilai lahir dari keinginan, dorongan, dan
perasaan, serta kebiasaan manusia, sesuai dengan watak manusia sebagai kesatuan
antara faktor-faktor biologis dan faktor sosial dalam diri dan kepribadiannya.
Nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan, yang dapat dimengerti sebagai
suatu wujud dalam perilaku manusia, sebagai suatu pengetahuan, dan sebagai
suatu ide, suatu perilaku, pengetahuan, atau ide dikatakan benar apabila
mengandung kebaikan, berguna, dan bermanfaat bagi manusia untuk penyesuaian
diri dalam kehidupan pada suatu lingkungan tertentu.
Menurut
faham pragmatisme, nilai hakikatnya diturunkan dari kondisi manusia. Nilai
tidak bersifat eksklusif, tidak berdiri sendiri melainkan ada dalam suatu
proses, yaitu dalam tindakan/perbuatan manusia (individual) merupakan bagian
dari masyarakatnya, baik atau tidak baik tindakan-tindakannya dinilai
berdasarkan hasil-hasilnya di dalam masyarakat. Jika akibat yang terjadi berguna
bagi dirinya dan masyarakatnya, maka tindakan tersebut adalah baik.
Nilai etika dan estetika tergantung pada keadaan relatif dari situasi yang
terjadi. Nilai-nilai akhir (ultimate values) tidaklah ada, benar itu
selalu relatif dan tergantung pada kondisi yang ada (conditional).
Pertimbangan-pertimbangan nilainya adalah berguna jika bermakna untuk kehidupan
yang intelegen, yaitu hidup yang sukses, produktif dan bahagia (Callahan anf
Clark, 1983). Karena itu aliran ini dikenal dengan Pragmatisme atau Eksperimentalisme.
Implikasi Pendidikan
A.
Tujuan
Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Filsuf pragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus
mengajarkan seseorang tentang bagaimana berpikir dan menyesuaikan diri terhadap
perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sekolah harus bertujuan
mengembangkan pengalaman-pengalaman tersebut yang akan memungkinkan seseorang
terarah kepada kehidupan yang baik. Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi:
· Kesehatan
yang baik
· Keterampilan-keterampilan
kejuruan (pekerjaan)
· Minat-minat
dan hobi-hobi untuk kehidupan yang menyenangkan.
· Persiapan
untuk menjadi orang tua.
· Kemampuan
untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial (mampu
memecahkan masalah-masalah sosial secara efektif)
Tujuan-tujuan khusus pendidikan sebagai tambahan
tujuan-tujuan di atas, bahwa pendidikan harus meliputi pemahaman tentang
pentingnya demokrasi. Pemerintahan yang demokratis memungkikan setiap warga
negara tumbuh dan hidup melalui interaksi sosial yang memberikan tempat bersama
dengan warga negara lainnya. Pendidikan harus membantu siswa menjadi warga
negara yang demokratis (Callahan and Clark, 1983). Karena itu menurut
pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk
menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan kehidupan
sosialnya (Edward J. Power, 1982).
Untuk mengetahui apa yang
menjadi tujuan pendidikan pragmatisme, tidak terlepas dari pandangannya tentang realitas, teori pengetahuan dan
kebenaran, serta teori nilai. Seperti telah dikemukakan, bahwa realitas
merupakan interaksi manusia dengan
lingkungannya. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang
terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi dari realitas, dan harus
siap mengubah cara-cara yang akan kita kerjakan. Mengenai kebenaran, pada
prinsipnya kebeneran itu tidak mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri dan tidak
terlepas dari akal yang mengenal. Yang ada hanya kebenaran khusus, yang setiap
saat bis diubah oleh pengalaman berikutnya. Sedangkan mengenai nilai,
pragmatism menganggap bahwa nilai itu relative. Kaidah-kaidah moral dan eika
tidak tetap, melainkan terus berubah seperti perubahan kebudayaan dan
masyarakat.
Dari uraian diatas, dapat ditafsirkan apa dan bagaimana tujuan
pendidikan serta bagaimana pelaksanaan pendidikan diorganisasikan. Objektifitas
tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat dimana si anak hidup, dimana
pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsung dalm kehidupan. Tujuan
pendidikan tidak berada di luar kehdupan melainkan berada di dalam kehidupan
sendiri. Seperti telah di uraikan bahwa esensi relaitas adalah perubahan, tidak
ada kebenaran mutlak, serta nilai itu relatif, maka berkaian dengan tujuan pendidikan, menurut pragmatism tidak ada
tujuan umum yang berlaku secara universal, tidak ada tujuan yang tetap ddan
pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus belaka, tidak ada tujuan yang berlaku
umum yang universal. Jadi, tujuan pendidikan tidak dapat dietapkan pada semuan
masyarakat kecuali apabila terdapat hubungaan timbale balik antara
masing-masing individu dalam masyarakat tersebut.
Walaupun pragmatisme tidak
mengenal tujuan akhir pendidikan namun Dewey (1964:94) mengemukakan beberapa kriteria dalam menentukan tujuan pendidikan yaitu harus dihasilkan dari
situasi kehidupan di sekeliling anak dan pendidik, harus fleksibel dan mencerminkan aktifitas
bebas. Tujuan pendidikan, menurut pragmatisme bersifat temporer, karena tujuan
itu merupakan alat untuk bertindak. Apabila suatu tujuan telah tercapai
maka hasil tujuan tersebut menjadi alat unuk mencapai tujuan berikutnya. Dengan
tujuan pendidikan individu harus mampu melanjutkan pendidikan. Hasil belajar
harus dapat dijadikan alat untuk tumbuh.
Beberapa karaktteristik tujuan
pendidikan yang harud diperhatikan adalah:
1.
Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari
kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan instrinsik anak didik.
2.
Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu
metode yang dapat mempersatukan aktifitas pengajaran yang sedang berlangsung.
3.
Tujuan pendidikan adalah spesifik dan langsung
pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan yang berkaitan
dengan tujuan umum dan tujuan akhir.
Tujuan pendidikan adalah suatu
kehidupan yang baik, yaitu kehidupan seperti yang digambarkan oleh Kingsley
Price (1962:476), “Kehidupan yang baik dapat dimiliki, baik oleh individu maupun oleh masyarakat. Kehidupan yang baik merupakan suatu pertumbuhan maksimum dan hanya dapat diukur oleh mereka yang memiliki
inelegensi (kecerdasan) yang baik. Perbuatan yang intelijen (cerdas) merupakan jaminan terbaik untuk melangsungkan pertumbuhan,
merupakan jaminan terbaik untuk moral yang baik.”
Pada hakikatnya masyarakat
adalah terbaik, namun masyarakat yang demokratis merupakan masyarakat terbaik, dimana terdapat kesempatan untuk setiap
pekerjaan, dan dalam demokrasi tidak mengenal adanya stratifikasi sosial.
Kesamaan-kesamaan merupakan jaminan bahwa setiap orang akan dapat mengambil
bagian melaksanakan segala aktivitas lembaga yang ia masuki. Penggunaan
intelegensi secara maksimal, berarti memberi kesempatan suatu pertumbuhan
kepada individu secara maksimal.
B.
Peranan Siswa Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam filsafat pragmatisme, nilai kebenaran bersifat
relatif yang berkesesuaian dengan nilai-nilai yang disepakati masyarakat dan
menunjang kepada kehidupan yang sesuai harapan di masa depan. Maka dari itu,
siswa memiliki peranan untuk mengolah setiap pengalaman yang didapatkannya
untuk mengetahui kebenaran yang ada di masyarakatnya. Dalam hal ini, siswa akan
mampu merekonstruksi setiap pengalaman yang ia dapatkan secara kronologis
selama ia hidup bermasyarakat serta berinteraksi dengan manusia dan alam di
sekitarnya. Setiap pengalaman yang ia dapatkan nantinya akan menjadi suatu
pertimbangan bagi siswa tersebut dalam menyelesaikan suatu masalah baik yang
berhubungan dengan dirinya maupun orang lain.
C.
Peranan Guru
Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam Pragmatisme, belajar selalu dipertimbangkan
untuk menjadi seorang individu. Dalam pembelajaran peranan guru bukan
“menuangkan” pengetahuannya kepada siswa, sebab upaya tersebut merupakan upaya
tak berbuah. Sewajarnya, setiap apa yang siswa pelajari sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan, minat-minat dan masalah pribadinya. Dengan kata lain isi
pengetahuan tidak bertujuan dalam dirinya sendiri, melainkan bermakna untuk
suatu tujuan. Dengan demikian seorang siswa yang menghadapi suatu
pemasalahan akan mungkin untuk merekonstruksi lingkungannya untuk memecahkan
kebutuhan yang dirasakannya. Untuk membantu siswa, guru harus berperan :
· Menyediakan
berbagai pengalaman yang akan memunculkan motivasi. Field Trips,
film-film, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh aktifitas
yang dirancang untuk memunculkan minat siswa terhadap permasalah penting;
· Membimbing
siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik;
· Membimbing
merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas untuk digunakan
dalam memecahkan masalah;
· Membantu
para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah. Secara
esensial, guru melayani para siswa sebagai pembimbing dengan memperkenalkan
keterampilan, pemahaman-pemahaman, pengetahuan dan penghayatan-penghayatan
melalui penggunaan buku-buku, komposisi-komposisi, surat-surat, narasumber,
film-film, field trips, televisi atau segala sesuatu yang tepat
digunakan;
· Bersama-sama
kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari; bagaimana mereka mempelajarinya;
dan informasi baru apa yang setiap siswa temukan oleh dirinya (Callahan and
Clark, 1983).
Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan
pragmatisme bahwa siswa merupakan organisme yang rumit yang mempunyai kemampuan
luarbiasa untuk tumbuh; sedangkan guru berperanan untuk memimpin dan membimbing
pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan
siswa.
Mengacu kepada prinsip bahwa segala sesuatu terus
berubah, prinsip bahwa pengetahuan terbaik yang diperoleh melalui
eksperimentasi ilmiah juga selalu berubah dan bersifat relatif, dan prinsip-prinsip
relativisme nilai-nilai, maka Callahan and Clark (1983) menyimpulkan orientasi
pendidikan pragmatisme adalah Progresivisme. Artinya pendidikan
pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan membosankan
dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti tehadap otoritarianisme dan
absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam berbagai bidang
kehidupan agama, moral, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya,
pendidikan Pragmatisme dipandang memiliki kekuatan demi terjadinya perubahan
sosial dan kebudayaan melalui penekanan perkembangan individual peserta didik.
Selain itu Callahan and Clark (1983) memandang rekonstrukionisme adalah variasi
dari progresivisme, yaitu suatu orientasi pendidikan yang ingin merombak tata
susunan kebudayaan lama, dan membangun tata susunan kebudayaan baru melalui
pendidikan/sekolah. Perbedaannya dengan progresivisme yaitu bahwa
rekonstruksionisme tidak menekankan perubahan masyarakat dan kebudayaan melalui
perkembangan individual siswa (child centered), melainkan melalui
rekayasa sosial dengan jalan pendidikan atau sekolah.
Guru di sekolah harus
merupakan suau petunjuk jalan serta pengamat tingkah laku anakuntuk mengetahui apakah yang menjdi minat perhatian anak. Dengan mengamati perilaku anak tersebut, guru dapat menentukan masalah apa yang akan dijadikaan pusat perhatian anak. Jadi dalam proses
belajar mengajar ada beberapa saran bagi guru yang harus diperhatikan, terutama dalam menghadapi dalam kelas, yaitu:
1. Guru tidak
boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan
kemmapuan siswa;
2. Guru
hendaknya menciptakan situasi yang menyebabjab siswa akan merasakn adnya suatu
masalah yang ia hadapi, sehingga timbul minat untuk memecahkan masalah
tersebut;
3. Untuk
membangkitkan minat anak hendaklah guru mengenal kemampuan serta minat
masing-masing siswa;
4. Guru harus dapat bisa menciptakan situasi yang menmbulkan kerja sama dalam
belajar, antara siswa dengan siswa, antara siswa denga guru, begitu pula antara
dengan guru. (Kingley Price, 1962:467)
Jadi tugas guru dalam proses
belajar mengajar adalah sebagai fasilitator, memberi dorongan dan kemudahan kepada
siswa untuk bekerja bersama-sama, meyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan
menarik kesimpulan sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai dengan minat
yang ada pada dirinya. Dengan jalan ini si anak akan belajar sambil bekerja
anak harus dibangkitkan kecerdasannya agar pada diri anak timbul khasrat
untuk menyelidik secara teratur dan akhirnya dapat berpikir ilmiah dan logis,
yaitu cara berpikir yang didasarkan pada fakta dan pengalaman.
D.
Kurikulum
Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Menurut para filsuf Pragmatisme, tradisi demokratis
adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a self-correcting tradition).
Implikasinya warisan-warisan sosial budaya dari masa lalu tidak menjadi fokus
perhatian pendidikan. Sebaliknya, pendidikan seharusnya terfokus kepada
kehidupan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Standar
kebaikan seseorang diuji secara terus-menerus dan diverifikasi melalui
pengalaman-pangalaman yang berubah. Pendidikan harus dilaksanakan untuk
memelihara demokrasi. Sebab hakikat demokrasi adalah dinamika dan perubahan
sebagai hasil rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus belangsung. Namun
demikian rekonstruksi ini tidak menuntut atau tidak meliputi perubahan secara
menyeluruh. Hanya masalah-masalah sosial yang serius dalam masyarakat yang
diuji ulang agar diperoleh solusi-solusi baru.
Dalam pandangan pragmatisme, kurikulum sekolah
seharusnya tidak terpisahkan dari keadaan-keadaan yang riil dalam masyarakat.
Dalam pendidikan materi pelajaran adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah
individual, dan siswa secara perorangan ditingkatkan atau direkonstruksi, dan
secara bersamaan masyarakat dikembangkan. Karena itu masalah-masalah masyarakat
demokratis harus menjadi bentuk dasar kurikulum dan makna pemecahan ulang
masalah-masalah lembaga demokratis juga harus dimuat dalam kurikulum. Karena
itu kurikulum harus menjadi :
· Berbasis
pada masyarakat;
· Lahan
praktek cita-cita demokratis;
· Perencanaan
demokratis pada setiap tingkat pendidikan;
· Kelompok
batasan tujuan-tujuan umum masyarakat;
· Bermakna
kreatif untuk pengembangan keterampilan-keterampilan baru;
· Kurikulum
berpusat pada siswa (pupil/child centered) dan berpusat pada aktifitas (activity
cenetred). Selain itu perlu dicatat bahwa kurikulum pendidikan pragmatisme
diorganisasi secara interdisipliner, dengan kata lain kurikulumnya bersifat
terpadu, tidak merupakan mata
pelajaran-mata pelajaran yang terpisah-pisah.
Sejalan dengan uraian diatas, Edward J.Power (1982)
menyimpulkan bahwa kurikulum pendidikan pragmatisme berisi pengalaman-penglaman
yang telah teruji, yang sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa. Adapun
kurikulum tersebut mungkin berubah.
E.
Metode
Pembelajaran dalam Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Sebagaimana dikemukakan Callahan and Clark (1983),
penganut eksperimentalisme atau pragmatisme mengutamakan penggunaan metode
pemecahan masalah (Problem Solving Method) serta metode penyelidikan dan
penemuan (Inquiry and Discovery Method). Dalam prakteknya (mengajar),
metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat berikut: permissive
(pemberi kesempatan), friendly (bersahabat), a guide (seorang
pembimbing), open minded (berpandangan terbuka), enthusiastic
(bersifat antusias), creative (kreatif), social aware (sadar
bermasyarakat), alert (siap siaga), patien (sabar), cooperative
dan sincere (bekerja sama dan ikhlas atau bersungguh-sungguh).
Post aliran filsafat yang lainnya dong.
ReplyDeleteup up up
ReplyDelete